JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dimulai sejak Senin (6/1/2025), tengah menjadi sorotan publik. Program yang bertujuan meningkatkan asupan gizi siswa ini menuai berbagai tanggapan, mulai dari apresiasi hingga kritik tajam di media sosial.
Sejumlah siswa yang mendapat kesempatan mencicipi makanan dari program ini justru mengaku kurang menyukai menu yang disediakan. Dalam sebuah video yang viral di platform X, seorang anak dengan polosnya berkata, “Rasanya aneh, kulitnya itu sangat keras bikin nggak nafsu makan.” Video tersebut diunggah oleh akun bercentang biru @PaltiWest2024, yang turut memberikan sindiran terhadap pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan program ini.
Keluhan lain seperti tidak tersedianya susu hingga rasa makanan yang hambar turut menghiasi pelaksanaan program MBG di berbagai daerah. Kondisi ini memunculkan berbagai perbincangan di dunia maya, terutama terkait kualitas dan kesiapan pelaksanaan program, Dikutip dari media fajar.co.id
Dr. Ihyani Malik, pakar kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, menilai bahwa program ini adalah langkah positif yang layak diapresiasi. Namun, ia menegaskan bahwa evaluasi dan penyesuaian diperlukan agar program ini benar-benar efektif di semua daerah.
Menurut Ihyani, salah satu tantangan utama adalah infrastruktur dan anggaran. Di daerah pelosok, distribusi bahan makanan sering terkendala, sementara anggaran sebesar Rp10.000 per anak dinilai terlalu minim untuk memenuhi kebutuhan gizi yang ideal. “Dengan anggaran ini, sulit menyediakan nasi, lauk, sayur, buah, dan susu secara bersamaan, terutama di daerah dengan harga bahan pokok yang tinggi,” ujar Ihyani.
Ia menyarankan adanya subsidi silang sebagai solusi, khususnya untuk membantu daerah dengan biaya produksi yang lebih tinggi. Pemerintah daerah juga diminta berperan lebih aktif dalam memastikan keberhasilan program ini.
Ihyani menekankan pentingnya pengawasan ketat untuk memastikan anggaran digunakan secara optimal dan menu yang disajikan sesuai standar gizi. “Program ini menggunakan uang negara, jadi harus ada mekanisme kontrol yang jelas,” tegasnya.
Selain itu, pelibatan masyarakat, sektor swasta, serta sinergi dengan perguruan tinggi dan media dianggap penting untuk mendukung keberhasilan program ini. Ihyani menyebut bahwa di desa, masyarakat dapat berperan dalam mengelola penyajian makanan secara mandiri untuk mengurangi ketergantungan pada distribusi dari luar.
“Kolaborasi berbagai pihak akan memastikan program ini berjalan dengan baik,” katanya, seraya menambahkan bahwa evaluasi berkelanjutan harus dilakukan untuk memperbaiki kekurangan selama implementasi.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Ihyani tetap optimis terhadap program ini. Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui inisiatif baru ini. “Kita tunggu hasilnya sambil terus mengawal pelaksanaannya,” tutupnya.
Program MBG, yang diharapkan menjadi langkah awal dalam memperbaiki gizi generasi muda, kini berada di persimpangan antara harapan dan tantangan besar. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat perlu bersinergi agar program ini dapat mencapai tujuannya untuk menciptakan generasi yang sehat dan cerdas.